“Endri menyajikan gambaran
bahwa masyarakat desa secara bertahap mengalami pergeseran,
baik dari segi tata nilai, orientasi, dan perilaku”
TanjungKarangNews.Com– Dalam situasi badmood saya disodori sebuah buku, sekilas dari judulnya, langsung jatuh vonis sepihak. “Ini buku sepele,” lebih tepat, bukan buku, melainkan laporan program yang dibukukan. Atawa sekadar informasi “keninian” karena di judul ada “judi online”-nya. Dimana judi online saat ini sedang jadi trending topik. Yang informasinya bersebaran di sosmed. Ditambah pengantar pesan siar yang menyebut tentang program Smart Village atau Desa Digital yang digagas oleh KemendesPDTT.
Sebagai pembaca kelas “penikmat tulisan” secara subyektif saya malas baca buku yang tidak bisa dinikmati, tapi beruntungnya, desain cover menampilkan tulisan mencolok “Zaman Gilded” yang memantik sedikit penasaran, masih adakah yang menggunakan istilah ini untuk dijadikan judul tulisan “kekinian”.
Istilah zaman gilded sendiri digunakan oleh Mark Twain dalam novel “Gilded Age”, 1873. Yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi di Amerika dengan segala patologinya di akhir abad ke-19, saya sempat tertarik dengan topik itu, tapi belum sempat lagi untuk mendalaminya, singkat cerita akhirnya saya baca kumpulan esai Endri Kalianda ini.
Sialnya, kok menarik, membaca buku ini lembar demi lembar, bab per bab, saya menangkap problematika masyarakat, khususnya masyarakat desa. Secara imajinatif sekaligus realistis. Tepatnya, realis yang imajiner di pikiran saya, mungkin karena faktor saya sendiri sebagai anak desa. Sehingga sejumlah tema dalam buku “Zaman Gilded sampai Keranjingan Judi Online” (Pustaka Media, 2024) ini membawa suasana kebatinan yang pas.
Pada sejumlah peristiwa saya langsung bisa membayangkan suasana yang sedang digambarkan oleh Endri. Dan pada beberapa paragraf saya baca sambil nyengir serta cekikikan sendiri, walaupun dalam ironi. Bagaimana tidak, Endri menyajikan gambaran bahwa masyarakat desa secara bertahap mengalami pergeseran, baik dari segi tata nilai, orientasi, dan perilaku akibat dari “perkembangan teknologi” yang merangsek ke ruang privat pribadi anak desa.
Kehidupan sosial ekonomi di desa betul-betul sudah berubah, gap antara memoar masa kecil kita yang hidup di desa dengan gambaran desa yang sudah terdigitalisasi di pelbagai lini saat ini, sudah sangat berbeda.
Atas keprihatinan dan kekhawatiran kondisi ini mirip dengan patologi sosial ekonomi Amerika di era “Gilden Age” yang digambarkan Mark Twain, dimana teknologi-teknologi, ekonomi, dan infrastruktur berkembang, tapi masyakatnya malah mengalami berbagi macam dehumanisasi, seperti tercerabut dari akar kulturalnya yang luhur, dan mengalami eksploitasi digital yang menghisap, dan saling memangsa hingga berujung pada kesenjangan antara si kaya dan si miskin, praktek elit politik yang kotor, dan ujung akhirnya selalu muncul konflik sosial.
Penulisan buku ini, dengan gaya bahasa yang khas dari Endri betul-betul menarik, not bad, dan dengan kata lain, buku ini sangat layak dibaca. (*)
Ahmad Fatoni
Anggota KPU Kota Metro, Lampung