Kehancuran dan Pertaubatan Ekologis

TanjungKarangNews.Com- Bencana di Sumatera yang mencakup Provinsi Aceh dan Sumatera Barat merupakan wajah nyata kehancuran ekologi akibat sikap abai pengurus negara. Pengurus negara tidak punya kepedulian akan lingkungan. Bahkan, pengurus negara yang secara enteng mengatakan tidak perlu takut dengan deforestrasi dan menyarankan untuk menanam sawit yang juga punya daun.

Bencana yang telah mengakibatkan lebih dari 316 korban jiwa itu belum juga ditetapkan sebagai bencana nasional. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional Letjen Suharyanto menyebut bencana terlihat mencekam di media sosial seperti dikutip Detik.com tidaklah bijak dan kurang berempati.

“Pernyataan tidak punya empati,” tulis Sudirman Said, Pengurus Pusat PMI dari Bireun, dalam pesan WhatsApp kepada saya.

Dalam UU Penanggungan Bencana, penetapan status dan tingkat bencana nasional memuat indikator (1) jumlah korban (2) kerugian harta benda (3) kerusakaan sarana dan prasarana (4)cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan (4) dampak sosial ekonomi yang terkena bencana. Namun, dalam situasi psikologis seperti sekarang, status penetapan bencana nasional, bisa mengarah pada sentimen regional dan perasaan diperlakukan tidak adil.

Sudirman mengirimkan sejumlah foto yang menggambarkan kehancuran ekologi begitu nyata. Banjir bandang disertai kayu-kayu gelondongan. Relawan PMI bekerja dengan peralatan seadanya untuk mengevakuasi korban yang meninggal maupun yang masih hidup. Sebagian foto relawan PMI di Aceh saya tampilkan dalam MemoBDM atas izin dari Sudirman Said sebagai Pengurus PMI Pusat.

Sejumlah pihak telah datang ke Sumatera untuk membantu mengevakuasi warga dan memberikan pertolongan tanggap darurat. Kompas memberitakan TNI mengerahkan sebelas helikopter untuk mengevakuasi warga yang terisolir.

Meminjam istilah Jared Diamond — profesor geografi dan biologi evolusi dari UCLA, penulis buku Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005) — memperkenalkan istilah ecological collapse sebagai salah satu penyebab utama runtuhnya peradaban manusia sepanjang sejarah.

Diamond menunjukkan bahwa kehancuran ekologi terjadi ketika manusia mengeksploitasi sumber daya alam melebihi daya dukung lingkungannya sendiri, tanpa memperhitungkan keseimbangan jangka panjang.

Ia menyebut fenomena ini sebagai: “Societal suicide — bunuh diri sosial akibat kegagalan mengelola lingkungan.

Buku Collapse menganalisis lima faktor utama yang menentukan apakah suatu masyarakat akan runtuh atau bertahan:

  1. Kerusakan lingkungan (environmental damage)– deforestasi, erosi tanah, hilangnya keanekaragaman hayati.
  2. Perubahan iklim (climate change)– fluktuasi suhu dan curah hujan memperburuk ketahanan pangan.
  3. Hubungan dengan tetangga (hostile neighbors)
  4. Hubungan dagang (friendly trade partners)
  5. Respons masyarakat terhadap krisis (societal response to crisis) — faktor ini paling menentukan.

Menurut Diamond, ecological collapse bukan hanya soal alam yang rusak, tapi soal ketidakmampuan institusi sosial dan politik dalam membaca tanda kehancuran ekologis. Deforestrasi terjadi begitu ugal-ugalan. Sikap defensif elite Indonesia menjadi tertawaan pihak asing. Dalam konteks Indonesia — seperti bencana ekologis di Sumatera dan Aceh, atau krisis hutan di Kalimantan dan Papua — ecological collapse versi Diamond bisa dibaca sebagai:

“Titik di mana pembangunan ekonomi kehilangan arah moral dan ekologisnya.”

Dengan kata lain, kehancuran lingkungan bukan bencana alam murni, melainkan bencana sosial yang direncanakan oleh kebijakan dan keserakahan

Pertobatan Ekologis

Bencana di Sumatera bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah cermin dari krisis yang lebih dalam: krisis relasi manusia dengan bumi. Dalam ensiklik Laudato Si’ (2015), Paus Fransiskus mengingatkan bahwa “bumi, rumah kita bersama, sedang menjerit karena luka yang kita timpakan.”

Bencana ekologis di Sumatera memperlihatkan bagaimana tanah, air, dan hutan kehilangan keseimbangannya akibat keserakahan manusia. Hutan ditebang tanpa kendali, dan sungai dipersempit demi lahan baru. Ketika hujan deras turun, gunung tidak lagi sanggup menahan air—maka alam menagih harga yang mahal. Dalam bahasa Laudato Si’, manusia telah memperlakukan alam bukan sebagai ibu yang memberi hidup, melainkan sebagai objek eksploitasi yang bisa dikuras sampai habis.

Namun, Laudato Si’ tidak berhenti pada kritik. Ia menyerukan pertobatan ekologis—sebuah panggilan untuk mengubah cara pandang dan cara hidup. Bencana adalah panggilan untuk sadar bahwa kita tidak bisa hidup di atas penderitaan bumi. Bahwa pembangunan tanpa keadilan ekologis hanya menghasilkan kemakmuran semu dan kesedihan abadi.

Sumatera mengajarkan pelajaran penting bagi seluruh Indonesia: mitigasi bencana tidak cukup dengan membangun tanggul atau jembatan, tetapi harus disertai perubahan moral dan kebijakan. Pemerintah perlu menata ruang secara ekologis; dunia usaha wajib menghormati batas alam; dan masyarakat diajak untuk hidup lebih sederhana serta mencintai bumi sebagaimana mencintai sesama. Dan tanggap darurat membutuhkan komunikasi dengan empati.

Mari kita galang solidaritas sosial. (*)

30 November 2025

Opini Karya Memo BDM (Budiman Tanuredjo)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *